Friday, February 24, 2017

Kehamilan Ziran Minggu ke-7 dan ke-8

Kehamilan minggu ketujuh, semuanya masih terasa normal. Perut? Sudah pasti belum membesar. Nafsu makan? Masih dalam tahap wajar kayak makan sehari-hari aja. Mual? Enggak ada rasa mual, semua makanan masih masuk dalam perut dengan lancarnya tanpa hambatan. 
Di sinilah saya mulai takabur (astagfirullah, jangan diikuti ya, hehe). Merasa menjadi ibu hamil yang sempurna, yang tanpa rasa mual dan menyusahkan orang lain seperti ibu-ibu hamil kebanyakan.
Pertama kali kontrol ke doktor kandungan, saya disarankan minum susu ibu hamil. Karena saya baru pertama kali hamil dan pertama kali kontrol, saya pun langsung menuruti saran dokter kandungan saya tersebut. Sepulang kontrol kandungan, saya dan suami langsung membeli susu untuk ibu hamil di supermarket. Selama satu minggu saya meminumnya dengan lancar tanpa hambatan. Rutin, setiap pagi sebelum berangkat kerja dan malam hari sebelum tidur. Tanpa disadari, terbersit dalam hati ucapan, "Alhamdulillah minum susu ibu hamil enggak mual-mual, enggak kayak kata orang-orang yang kalau hamil trimester pertama suka mual-mual plus muntah-muntah."

Dan tadaaaa...tak perlu menunggu waktu yang lama, kata-kata yang sempat terbersit dalam hati saya itu seakan menjadi bumerang bagi saya sendiri. Seminggu kemudian, saya mual-mual, bahkan sampai muntah-muntah luar biasa hebatnya. Setiap yang saya makan, semuanya keluar lagi, termasuk apa yang saya minum juga. Pokoknya, enggak ada satu pun makanan maupun minuman yang masuk, termasuk air putih sekali pun, hiks hiks. Perut dan tenggorokan terasa sakit karena selalu muntah dan bulak-balik ke kamar mandi. Belum lagi, badan rasanya lemes banget karena hanya sedikit makanan ataupun minuman yang mungkin masuk ke dalam perut.

Saat itu, saya hanya bisa menangis dan mengeluh pada suami saya. Di satu sisi saya lapar banget dan haus banget, sedangkan di satu sisi mulut rasanya pahit banget dan ngebayangin makanan aja udah bikin enek, huhu. Suami saya hanya bisa bilang, "Sabar, bu, sabar", karena dia juga bingung untuk menghilangkan rasa mual saya. Semua saran orang-orang pun enggak ada yang mempan, seperti makan permen jahe, minum jahe, makan atau minum minuman yang asem-asem, makan dengan porsi sedikit-sedikit, dan lain sebagainya. 

Di kehamilan minggu kedelapan pun akhirnya saya tumbang. Saya hanya bisa nguat-nguatin diri aja supaya ada yang masuk ke dalam perut, meskipun hanya sekadar sari-sarinya saja. Yang ada dalam pikiran saya, saya harus kuat dan anak dalam kandungan saya tidak boleh sampai kekurangan gizi, dia harus berkembang.

Kemudian, saya teringat dengan kata-kata yang pernah saya ucapkan dalam hati pada kehamilan minggu ketujuh saya. Bagaimana saya begitu takaburnya karena tidak mengalami mual-mual dan muntah-muntah. Saya pun beristigfar dan meminta maaf sama Allah karena merasa sudah takabur atas kehamilan saya bukannya bersyukur.

Di kehamilan minggu kedelapan ini saya mulai harus beradaptasi dengan rasa mual-mual ini. Di kehamilan minggu kedelapan ini pula saya mulai belajar menjaga kata-kata, belajar peka, belajar untuk lebih bersyukur, belajar menghargai segala sesuatu, dan banyak sekali pelajaran lainnya yang harus saya pelajari. 

Pada kehamilan pertama ini, saya banyak bertafakur atas segala sikap saya selama ini. Saya yang mungkin terlalu bahagia diberi kehamilan yang di minggu-minggu awal tanpa merasakan mual sehingga kebahagiaan saya itu melewati batas dan berakhir menjadi sebuah kesombongan yang tanpa disadari. Dari sini saya mulai belajar, hamil itu bukan hanya soal bagaimana saya harus menjaga anak dalam kandungan saya, melainkan juga soal menjaga sikap dan perilaku kita terhadap kehamilan kita yang bisa melenakan dan mungkin mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti orang lain.

Jadi, buat para ibu hamil lainnya yang pada saat kehamilan tidak merasakan mual-mual atau muntah-muntah, bersyukurlah dan jangan sampai keluar celetukan seperti saya yang membandingkan dengan ibu hamil lainnya. Hal ini benar-benar terasa seperti tamparan keras buat saya jika mengingatnya. 

Ibu hamil itu unik, dan setiap ibu hamil memiliki kondisi yang berbeda-beda. Jadi, jika ibu hamil yang tidak merasakan mual-mual atau muntah-muntah tidak bisa memberikan saran kepada ibu hamil yang merasakan mual-mual atau muntah-muntah, setidaknya bersimpatilah dan hiburlah mereka. Toh bukan mereka yang pengin mual-mual dan muntah-muntah kok, tapi memang pada kehamilan, tubuh perempuan mulai memproduksi hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG). 

Meski penyebab mual selama kehamilan belum dijelaskan secara pasti, mual biasanya terjadi ketika produksi HCG dimulai. Akibatnya, mual selama kehamilan mungkin menunjukkan bahwa ibu hamil mengalami pendakian normal hormon kehamilan yang diperlukan untuk kehamilan yang sehat.

Oh ya, ternyata berdasarkan informasi dari berita dalam jaringan (daring) CNN, mual selama kehamilan juga bermanfaat, yakni:
  • mengurangi paparan janin terhadap zat berbahaya dalam diet ibu hamil; 
  • mendorong ibu hamil untuk makan makanan yang mengandung nutrisi tertentu, seperti yang kaya karbohidrat; 
  • meminta ibu hamil untuk menyesuaikan tingkat aktivitasnya untuk mendukung pertumbuhan jaringan ibu dan janin.
Intinya sih baik hamil maupun enggak hamil, selalu bersikap baik dan berpositif thinking. Apa yang Allah kasih sama kita adalah yang terbaik, semuanya ada manfaatnya, semuanya memiliki makna, termasuk mual selama kehamilan :)






Thursday, February 9, 2017

Karena Enggak Mau Minta Maaf Setitik Rusak Hubungan Sebelanga

Ziran (anak saya) bersama Mas Dzikra (anak kakak saya)

Sebagai seorang adik, saya merasakan, orang yang menjadi panutan atau idola pertama saat kecil adalah kedua kakak saya, terutama kakak perempuan saya karena kami sama-sama perempuan. Apa yang dipakainya, apa yang dilakukannya, terlihat selalu menarik di mata sang adik. Namun, lain halnya dengan sang kakak, biasanya mereka malah sangat kesal ketika adiknya membuntuti atau meniru apa yang dilakukannya. Begitu pula yang terjadi pada saya dan kakak perempuan saya pada saat kecil, dan sekarang terjadi juga pada anak saya dan kakak perempuan saya.

Ziran begitu mengidolakan Mas Dzikra. Apa yang digunakan Mas Dzikra, Ziran selalu ingin menggunakan sesuatu yang sama dengannya. Apa yang dimainkan Mas Dzikra, Ziran juga mau memainkannya. Apa yang dilakukan Mas Dzikra, Ziran selalu mengikutinya. Dan hal itu kadang membuat Mas Dzikra kesal, kemudian bilang, "Ade Ziran ih, itu kan mainan Mas!", "Ade Ziran ih, aku enggak suka diikutin". Atau salah satunya ada yang menangis karena berebutan mainan.

Kalau ngobrol sama beberapa teman dan sahabat saya juga ternyata memang tak jauh berbeda, mereka yang mempunyai kakak seperti saya pasti pernah mengidolakan kakaknya dan ingin sepertinya. Jadi, dari hasil obrolan saya dengan beberapa teman dan sahabat saya ini bisa disimpulkan biasanya saat masih kecil, sang adik sangat mengidolakan sang kakak. Sementara itu, sang kakak akan berusaha menjauh atau membatasi diri dari adiknya supaya tidak diikuti, yang pada akhirnya berujung berantem, hehe.

Membahas soal hubungan adik dan kakak, membuat pikiran saya bernostalgia dengan masa kecil saya bersama kedua kakak saya. Tak bisa dihitung berapa kali kami bertengkar karena hal sepele, terutama saya dengan kakak perempuan saya. Dia selalu merasa risih jika saya mengikuti gayanya, meminjam bajunya, atau hal-hal lainnya yang bersifat "duplikat", dan akhirnya berantem. Namun, yang selalu saya ingat saat kecil itu, seberantem-berantemnya kami pada akhirnya bakal baikan juga. Semarah-marahnya kakak saya atau senakal-nakalnya saya bikin kesal kedua kakak saya, pada akhirnya kami akan saling memaafkan.

Lalu, saat ini saya merasa, lebih baik berantem pada saat masih kecil seperti dulu yang beberapa jam kemudian atau keesokannya bisa lupa begitu saja. Lebih baik berantem pada saat masih kecil seperti dulu, yang kalau disuruh maaf-maafan sama orangtua kita langsung maafan dan besoknya main lagi kayak biasa, dibandingkan berantem pada saat dewasa, seusia seperti saya. 

Entahlah, tapi saya merasa saat kecil, maaf memaafkan terasa lebih tulus dan lebih mudah dilakukan dibandingkan saat sudah dewasa. Saat sudah dewasa, hal kecil saja bisa berbuntut besar, meskipun adik kakak kandung bisa berakhir menjadi benci atau tak saling sapa, bahkan tak saling kenal. 

Tak sedikit saya melihat adik kakak yang bertengkar besar hanya karena hal sepele dan mereka terlalu gengsi untuk saling memaafkan. Semuanya merasa paling benar, semuanya merasa tidak perlu meminta maaf, semua merasa gengsi untuk mengakui duluan siapa yang salah dan memulai minta maaf. Egois!

Namun, begitulah nyatanya. Seperti halnya di dunia media sosial sekarang ini, yang dikit-dikit orang cepat tersinggung, kemudian saling menghujat, semuanya merasa paling benar, saling meng-unfriend, enggak pada mau minta maaf, terus jadi enggak mau saling kenal juga di dunia nyatanya. Sekarang mah, "karena share setitik rusak hubungan sebelanga", "karena enggak mau minta maaf setitik rusak hubungan sebelanga".

Balik lagi ke persoalan adik kakak, sekarang saya dan kedua kakak saya sudah enggak pernah berantem lagi karena hal sepele. Karena hal itu juga, saya dan kedua kakak saya sudah jarang mendengar kata "maaf" yang seperti biasa kami lakukan saat kecil jika kami berbuat salah. Kata "maaf" yang kami dengar saat ini hanyalah pada saat lebaran. Itu pun entah apakah maaf memaafkan dari dalam hati atas sikap kita selama ini yang disadari atau tidak disadari karena sempat saling menyakiti atau hanya sekadar "tradisi" lebaran yang biasa dipakai untuk momen mengucapkan "mohon maaf lahir dan batin". 

Ya, di usia saya yang hampir menuju 30 ini, saya merasa sekarang banyak kata "maaf" hanyalah sebuah kata yang tak berisi ketulusan seperti waktu saya kecil. Sekarang, kata "maaf" hanyalah sebuah formalitas untuk sebuah pengakuan. Kata "maaf" hanyalah tameng untuk mencari aman agar tidak terjadi keributan. Ah, memang rumit ya dunia dewasa ini.



Friday, February 3, 2017

Bersyukurlah Dengan Hadirnya Si Garis Dua

12 November 2014, sudah satu bulan kami menikah.
Saat itu, saya sangat menikmati peran baru menjadi seorang istri. Semuanya terasa sempurna, seperti yang sering banyak orang bilang, "dunia seakan milik berdua, yang lain ngontrak" hehe. Rutinitas harian pun berubah. Saya yang biasanya bangun agak siang dan santai pergi kerja, kali ini harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan semua keperluan suami.

Bangun-bangun langsung ke dapur buat nyiapin sarapan dan bekal suami. Bekalnya pun benar-benar sehat dan komplit dengan tambahan buah segar atau yakult. Kemudian, saya memilih dan menyetrika baju untuk kerja suami. Setelah persiapan suami beres, barulah saya mencuci pakaian kami sekaligus mandi, terus siap-siap pergi ke kantor deh.

Ya, selama sebulan saya melakukan rutinitas baru itu dan saya menikmatinya. Namun, beberapa hari kemudian, semuanya terasa berubah. Badan terasa cepat lelah, emosi menjadi labil, dan saya sangat mudah mengantuk. Badan sih enggak demam, tapi badan rasanya pengin istirahat terus dan kalau suami bikin salah sedikit, saya cepat banget kepancing emosinya. 

Ah, saya pikir mungkin lagi gejala Pra Menstruasi Syndrome (PMS). Biasanya kan kalau lagi PMS, perempuan yang lembah lembut macam burung merak, tiba-tiba berubah jadi garang macam singa, hehe. Eh tapi..tapi..pas lihat kalender kayaknya saya sudah telat seminggu deh belum menstruasi. Hmmm, saya pikir mungkin karena belum menstruasi aja jadinya emosinya makin labil.

Singkat cerita, eh pak suami malah nyuruh saya beli testpack sambil bilang, "Wah, de, coba dites deh. Jangan-jangan ade hamil. Aa baca-baca di internet ciri-cirinya kayak ibu hamil deh. Udah telat seminggu kan?"

Bisa-bisanya saya enggak ngeh ke arah sana, malah suami yang ngeh hehe. Masih merasa perawan nih si sayanya hihi. Alhasil, saya pun mengikuti saran suami. Karena pengen hasil yang akurat, saya pun membeli test pack yang harganya mahal dan dites pada pagi hari saat kencing pertama. Rasanya pas pertama kali test pack gitu kok saya deg-degan, kayak lagi nunggu hasil ujian, hehe. Hasilnya ternyata terdapat satu garis yang sangat jelas, dan satu garis sangat samar. 

Lihat hasilnya tersebut, saya malah tambah deg-degan. Apa ini artinya saya hamil? Saya pun langsung mengirim whatsapp pada teman saya yang seorang perawat dan seorang bidan. Terus kata mereka, bisa jadi positif, bisa jadi enggak, coba tes lagi aja pakai merk lain tapi tiga hari setelah itu takutnya hasil berikutnya malah berubah jadi satu. Tapi, ya dasar bandel, bukannya ngikutin saran kedua teman saya itu, sorenya saya malah beli lagi test pack dengan merk lain yang lebih populer dan dikenal akurat hasilnya. Besok paginya saya tes lagi dan ternyata hasilnya sama seperti kemarin tapi garis keduanya malah lebih samar dari sebelumnya.

Melihat hasil kedua ada perasaan lega sekaligus khawatir juga. Leganya, oh mungkin hasilnya negatif, saya penginnya hamilnya nanti saja deh soalnya saya dan suami sudah menyusun banyak rencana buat keliling Indonesia, lah kalau saya hamil repot dong jalan-jalannya. Lagian saya juga penginnya menikmati dulu masa-masa berduaan sebelum punya anak, kebayang kan kalau udah punya anak, repot deh. Khawatirnya, kalau ternyata hasilnya positif, saya harus benar-benar menjaga kandungan saya karena pekerjaan saya lebih banyak di lapangan dibanding di kantor. Terus kalau benar hamil, gimana semua rencana yang udah saya susun sama suami? Batal semua dong? huhu.

Karena masih ada rasa khawatir dan saya juga masih saja belum menstruasi, akhirnya dua hari berturut-turut dites lagi pakai testpack dan hasilnya garis dua itu semakin jelas, terpampang nyata. Melihat hasilnya yang semakin jelas, saya hanya bisa terdiam. Enggak kayak di sinetron-sinetron yang langsung kegirangan dan memberi tahu suami serta keluarganya dengan kejutan dan disambut tangis haru. Saat itu, yang ada saya malah nangis ke suami dan bilang, "Aa gimana ini garisnya dua? Ade beneran hamil gitu? Terus gimana dong sama rencana kita buat keliling Indonesia? buat jalan-jalan backpacker-an?"

Suami saya hanya menjawab, "Ya kalau bener hamil, enggak apa-apa kita tunda dulu aja jalan-jalannya. Sekarang, ade harus periksa ke dokter kandungan biar lebih jelas dan biar tahu kita harus gimana. Apalagi ade kerjanya banyak di lapangan."


inilah hasil keempat test pack selama empat hari berturut-turut dan yang paling akurat malah tespack yang paling murah dengan harga Rp 5.000 saja hehe

Keesokan harinya, saya pun diantar suami untuk pergi ke dokter kandungan dan kami berdua juga sepakat untuk tidak memberitahu kedua orang tua kami terlebih dahulu sebelum hasilnya pasti, benar-benar dari dokter. Saat itu, kami memilih dokter Yena di RSIA Limijati Bandung. Buseeet, antriannya panjang bener dah. Datang siang, ketemu-ketemu sama dokternya sore, lumayan bisa dipakai bobo dulu selama nunggu, hehe. Pas periksa, dokternya sih enggak banyak ngomong, langsung to the point kayak nanya kapan terakhir dapat, ada mual-mual apa enggak, terus udah telat berapa minggu, dan sebagainya. Setelah itu langsung di USG. Hasilnya, ternyata, ya saya positif hamil dan si janin sudah berusia lima minggu.
usia si calon jabang bayi baru 5 minggu

Seketika itu juga saya dan suami malah banyak melamun. Kami berdua langsung merasa semua rencana yang kami susun pun pupus sudah. Tabungan yang harusnya buat kami jalan-jalan, berarti sekarang dikhususkan untuk persiapan kelahiran si calon jabang bayi dan segala keperluannya selama saya hamil selama 9 bulan ke depan. Argh, saat itu bukanya senang melainkan saya malah merasa semua kebahagiaan saya selama sebulan ini akan menjadi sebuah kerepotan selama 9 bulan ke depan. Banyak hal-hal yang enggak bisa saya lakukan berdua lagi dong dengan suami.

Ya, kala itu saya benar-benar kekanak-kanakan hingga akhirnya saya merasa tertampar saat saya memberitahu kabar bahagia ini ke keluarga serta sahabat-sahabat saya. Beberapa dari mereka ada yang memberikan ucapan selamat kepada kami sekaligus "menampar" saya sebagai calon ibu baru. Ia berkata, "Selamat ya Moy akhirnya dikasih anugerah terindah sama Allah. Dijaga baik-baik ya, utunnya (sebutan jabang bayi yang masih ada di kandungan), jangan sampai kayak saya, udah nunggu lama eh malah keguguran."

Terus ada lagi yang mengucapkan, "Senengnya denger kabar Moy hamil. Selamat ya, Moy. Sehat terus sampai nanti lahiran. Bersyukur ih Moy baru nikah langsung dipercaya sama Allah buat jadi seorang ibu, teteh mah udah 5 tahun nikah masih harus berusaha. Doain teteh juga cepet dipercaya sama Allah buat jadi ibu."

Deg...rasanya hati saya ini kayak kejedug apa gitu, langsung sakit dengar dua ucapan selamat tersebut. Saya merasa menjadi orang yang paling tidak bersyukur. Saya merasa menjadi calon ibu yang jahat karena bukannya senang menyambut si calon jabang bayi malah mikirin enggak bisa jalan-jalan jauh. Ah ya ampun, padahal di luar sana banyak banget para istri yang menantikan si garis dua tersebut muncul dalam test packnya. Bisa-bisanya saya malah mengeluh saat mengetahui ada si garis dua dalam test pack saya.

Sejak itu pula, saya mulai menampar diri saya dengan mengintrospeksi diri serta berdamai dengan si utun. Sejak itu pula, saya merasa menjadi istri yang paling beruntung karena mendapatkan si utun. Lewat tulisan ini juga Ibu ingin minta maaf sama si utun yang sekarang usianya udah 18 bulan aja. Kalau kamu sudah besar dan baca tulisan ibumu ini, maafkan ibumu yang dulu enggak menyambut kehadiranmu di dalam perut ibu dengan baik dan bahagia ya. Waktu itu, Ibu hanya masih terlalu kekanak-kanakan dan terlalu egois, mementingkan diri sendiri. Sekarang sih bahagianya bukan main, yang ada pengin cepat-cepat pulang biar bisa ketemu dan meluk Ziran, hehe. Love you, nak.

Buat semua para calon ibu, semoga sehat terus dan jaga baik-baik ya utunnya. Dan buat yang belum dikasih momongan, tetap semangat berusahanya, semoga cepat dikasih momongan ya :)