Friday, March 17, 2017

Putus atau Pertahankan?

Beberapa minggu lalu, timeline media sosial saya dipenuhi dengan artikel mengenai "anak Amien Rais dan Selmadena". Itu tuh kisah cinta mereka yang ditulis Selmadena dalam caption-caption Instagramnya serta melalui tanda pagar (hashtag) #haqyselmajourney yang kemudian viral di berita-berita daring. Buat yang belum tahu, saya bahas sedikit ya apa sih yang membuatnya menjadi viral.

Jadi, semuanya berawal dari postingan Selmadena di Instagram-nya yang menceritakan soal perjalanan cintanya dengan Haqy Rais (anaknya Amien Rais) yang kini telah sah menjadi suaminya secara agama maupun negara. Dalam postingan-postingannya tersebut, Selmadena selalu menambahkan tanda pagar #haqyselmajourney. Nah, yang membuatnya viral dan menuai pro kontra adalah kisah percintaannya yang diungkapkan oleh Selmadena, yakni Selma yang memilih Haqy padahal ia sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan pria lain.

Inilah salah satu caption Selma yang viral di berita daring dan media sosial:
@selmadena #HaqySelmaJourney
-
Astaghfirullahaladzim.. Hari itu adalah hari yang sangat berat dalam hidupku.
Aku punya pacar yang sangat aku harapkan, aku cintai, dan waktu itu, benar-benar aku anggap sebagai teman hidupku.
-
Malam itu, aku bersujud pada Allah, aku merenungi doa-doaku.
Aku merenungi, betapa di setiap sujudku aku selalu berdoa: Ya Allah, jika memang pria yang kucintai sekarang ini (pacarku) adalah jodohku, dekatkanlah kami, apabila bukan, gantikanlah ia dengan pria yang BAIK MENURUTMU, bukan baik menurut hamba-Mu ini ya Allah..
-
Sejak usia 17 tahun, aku punya mimpi untuk menikah muda.
Berkaca dari Mamaku, @idafitri_n, yang menikah muda namun masih dapat menggapai mimpi-mimpinya. Lalu, kenapa aku tidak bisa?
Aku bisa berkarir, dengan dukungan suami disampingku, teman hidupku. Pokoknya, usia 25 tahun adalah usia maksimalku menikah! Pikirku waktu itu..
-
Tapi berkali-kali aku jatuh bangun mencari orang yang tepat untuk mewujudkan mimpiku, tidak juga ketemu. Berkali-kali aku mengorbankan hatiku, justru aku terus dihantui ketakutan bahwa aku tidak akan bisa menikah di usia 25 tahun. Dan posisi pada waktu itu, pacarku sedang dalam masa pendidikan dan belum bisa mengajakku menikah.
Namun ada laki-laki yang mengajakku menikah saat ini.
-
Ya Allah.. aku sadar hidup adalah pilihan. Aku harus bagaimana?
Aku gak mau menyakiti hati siapapun, apalagi @haqyrais, dia mengajakku untuk berjalan menuju jalan-Mu yang halal dengan cara yang halal pula..
Dan....aku tidak mau menyakiti hati pacarku ya Allah....

Postingan yang sudah mendapatkan 1.720 like ini kemudian menuai pro dan kontra di para netizen. Ada yang bilang kalau kisah cinta keduanya merupakan kisah cinta yang realistis, tapi tak sedikit juga yang merasa kurang setuju dengan perlakuan Selma karena telah meninggalkan pacarnya yang sedang melakukan pendidikan di kota lain. Sebagian besar yang pro adalah para kaum hawa, sedangkan yang kontra banyaknya dari para kaum adam, hehe.

Di sini, saya sih bukan mau membela siapa-siapa, saya pengin mencoba netral karena saya juga pernah mengalami hal yang serupa dengan kisah mereka. Kalian boleh mengambil yang positifnya dan membuang yang negatifnya. Dan saya menulis ini juga atas izin suami saya, karena tulisan ini juga bermula dari perbincangan antara saya dan suami saya beberapa hari yang lalu.

Saat itu, saya nyeletuk sama suami, bilang, "Yah, di medsos meuni lagi rame ya itu cerita yang cewek mutusin pacaranya yang udah bertahun-tahun gara-gara langsung ada yang lamar dan yang lamarnya ternyata anak Amien Rais,"

"Oh iya? Gimana ceritanya?" tanya suami saya. Kemudian, saya pun menceritakan kronologisnya. Mendengar cerita dari saya, pak suami terdiam sebentar, lalu tersenyum.

"Si Ibu mah suka lupa, kan dulu juga hampir gitu. Ibu sempat bilang ke ayah pas pacaran, 'Ade pengin nikah pas umur 25 tahun. Kalau nanti pas umur 25 tahun Aa enggak ngelamar-ngelamar juga, terus tahu-tahunya ada yang serius sama Ade dan langsung lamar Ade, Ade mah mau milih yang langsung ngelamar aja. Ade enggak mau lama-lama pacaran lagi. Ade pengin cari yang serius'. Inget enggak pernah ngomong gitu ke ayah?" ujar Pak Suami yang membuat saya harus memutar lagi memori masa-masa pas pacaran sama dia.

Dan saya akhirnya ingat, hehe. Ya, waktu itu kondisinya saya dan suami sedang LDR-an. Saya di Bandung, dan dia di Jakarta. Pas lagi LDR-an itu, kita sudah menjalin hubungan selama tiga tahun lamanya. Padahal mah ya Bandung-Jakarta teh dekat, tapi karena saat itu saya masih bekerja sebagai wartawan dan dia sebagai programmer jadi jadwal buat ketemuannya suka susah diatur. Yang namanya LDR mah ya, mau dekat kotanya atau jauh, pasti aja enggak semuanya berjalan mulus, ada we gogodanya hehe. Berantem-berantem mah pasti ada aja, apalagi kalau soal lawan jenis, udah deh berantemnya bisa panjang kali lebar.

Nah tapi, dari awal kita pacaran, terutama pas LDR-an, kita mah udah buat perjanjian untuk saling terbuka dan cerita sejujur-jujurnya, apalagi kalau ada lawan jenis yang pedekate. Saat itu, saya berusia 23 tahun, dua tahun lagi menuju 25 tahun yang merupakan umur idaman saya untuk menikah. Kenapa saya ingin menikah di umur 25 tahun?

Simple sih sebenarnya jawabannya. Pertama, saya enggak mau pacaran lama-lama, apalagi melebihi 5 tahun, yang berarti kalau nanti pas saya berumur 25 tahun, saya dan si pacar alias pak suami, pacarannya udah 5 tahun. Kedua, saya ingin menikah muda karena ingin cepat punya anak biar anak saya nanti pas kuliah sayanya usinya masih di bawah 50 tahun, biar masih produktif dalam mencari uang dan membiayai anak saya sekolah, hehe. Ketiga, katanya kan kalau perempuan hamil di atas usia 30 atau 35 tahun suka lebih capek. Berdasarkan, berita di tempo.co disebutkan, wanita usia 25 tahun memiliki risiko melahirkan dengan perbandingan 1:1.250. Menjelang 30 tahun, perbandingan risiko melahirkan anjlok menjadi 1:952. Usia 35, menjadi 1:378. Seiring meningkatnya usia, rasionya terus menurun. Umur 25 tahun dipandang sebagai usia paling ideal untuk melahirkan. Direntang usia 20-30 tahun, katanya kemampuan untuk hamil dan tingkat kesuburannya mencapai 90 persen. Maka dari itu, rentang usia 20-30 tahun disebut sebagai rentang usia hamil terbaik.

Balik lagi ke obrolan saya dan suami. Pas saya bilang saya mau menikah di usia 25 tahun, awalnya suami saat itu enggak langsung setuju. Menurutnya, dia baru juga kerja setahun, masih banyak mimpi-mimpi yang belum dia gapai, dan dia juga merasa masih belum bisa ngasih banyak untuk kedua orangtuanya. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan obrolan-obrolan yang biasa kami lakukan pada saat bertemu, akhirnya Pak Suami melamar saya di usia 24 tahun. Dengan berbagai pertimbangan dan keputusan yang tak mudah, Pak Suami berjuang untuk melamar saya, bahkan ia mencoba mencari pekerjaan di Kota Bandung agar setelah menikah kami berdua tinggal di Bandung, tak perlu LDR lagi.

Di saat ia sedang berjuang untuk memenuhi permintaan saya yang ingin menikah di usia 25 tahun, saya pun pernah mengalami hal serupa seperti Selma. Saat itu ada juga laki-laki lain yang hendak melamar saya. Kalau berdasarkan materi sih, jauh lah dari pak suami yang saat itu masih berjuang, memulai semuanya dari nol. Laki-laki ini sudah mapan, sudah punya rumah, kendaraan pribadi, punya usaha, pokoknya kalau saya menerima lamarannya, saya keluar kerja pun *kasarnya sih* ongkang-ongkang kaki di rumah juga tetep banyak duit, hehe. Namun, saat itu, yang saya pikirkan adalah si pak suami yang sedang berusaha memenuhi permintaan saya. Dia yang sedang berjuang, melawan egonya untuk membuktikan bahwa dirinya serius dengan saya. Baginya melakukan hal itu tidaklah mudah. Lagian kan batas waktunya juga sampai usia 25 tahun. Jadi, dia berhak untuk berjuang sampai batas waktu dan saya berhak menilainya. Selama itu pula tak ada yang saya tutup-tutupi, semuanya saya ceritakan padanya, termasuk soal laki-laki yang hendak melamar saya.

Akhirnya, tepat di usia 25 tahun lebih 3 bulan atau pada saat 12 Oktober 2014, kami berdua menikah. Hubungan yang kami bina selama 5 tahun itu berakhir bahagia. Kalau kata Pak Suami sih, "Coba kalau ayah enggak ngelamar ibu waktu itu, mungkin ayah juga bisa berakhir kayak si mantan pacarnya Selma itu, haha"

Memang benar, perempuan itu butuh kepastian, tapi para pria juga butuh kepastian kok dan untuk melamar seorang perempuan, kata ayah sih buat laki-laki butuh kekuatan yang besar. Karena apa? karena saat menikah, laki-laki tak hanya mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya, pada saat ijab qabul terucap dari mulutnya, saat itulah ia berjanji: "Maka aku tanggung dosa-dosanya si wanita dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan solat. Semua yang berhubungan dengan si wanita, aku tanggung dan bukan lagi orangtuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku".

Terlepas dari semua itu, baik Selma dengan kisah cintanya pasti punya alasan tersendiri, seperti saya dan suami yang memilih untuk tetap bertahan dengan alasan-alasan kami. Semuanya kembali lagi kepada pribadi masing-masing dan hanya yang menjalaninya yang tahu kisah sebenarnya. Orang lain hanya bisa menilai.



Sunday, March 12, 2017

Arti Sebuah Nama Bagi Periset


Dulu, saat masih sekolah atau kuliah, bagi saya jika membahas soal nama tak akan jauh dari arti nama atau panggilan seseorang. Misalnya, saat teman saya menanyakan, "Apa sih arti nama kamu?" atau "Kenapa sih kamu dipanggilnya Moy?". Dari zaman sekolah sampai kuliah, mungkin pertanyaan tersebut sudah tak asing lagi didengar. 

Nah, kalau sekarang, saat sudah menikah dan punya anak, yang ditanya bukan lagi apa arti nama saya, tapi banyak orang yang lebih menanyakan, "Moy, anakmu siapa namanya?", "Wah namanya bagus, artinya apa?", atau "Eh Moy, dapat inspirasi nama anak kamu dari mana?". Membahas soal nama seseorang memang selalu menarik karena setiap nama memilik arti yang unik, yang di dalamnya tersimpan doa dan harapan dari orangtuanya atau bisa juga merupakan gabungan dari nama kedua orangtuanya, dan bahkan bisa merupakan singkatan dari sebuah kalimat.

Contoh nama yang di dalamnya tersimpan doa dan harapan adalah anak saya, Ghaziran Dhiyaa Titan Putra. Dulu saat saya hamil, saya dan suami sudah menyiapkan dua nama, satu nama anak laki-laki dan satu nama anak perempuan. Saking banyaknya referensi soal nama anak yang malah membuat kami berdua pusing tujuh keliling, akhirnya kami malah menggabungkan nama cucu dan anaknya Aa Gym serta nama suami saya, hehe. Kenapa? karena pak suami begitu mengidolakan Aa Gym, jadi menurutnya nama cucu dan anaknya pasti memiliki arti yang baik, dan memang setelah cari referensi sana sini soal nama cucu dan anaknya Aa Gym yang kami jadikan referensi memiliki arti yang baik.

Ghaziran artinya berlimpah
Dhiyaa artinya cahaya
Titan artinya besar
Putra artinya anak laki-laki

sehingga jika semuanya digabungkan, kami berdua memiliki persepsi bahwa nama ini memiliki arti anak laki-laki yang bercahaya yang akan menjadi orang besar dan membawa rezeki berlimpah-limpah. Aamiin, semoga saja nama yang kami berikan ini menjadi doa, hehe.

Lalu, saya juga mempunyai teman yang nama anaknya diambil dari gabungan nama dia dan suaminya, yakni Diaz, singkatan dari Dita dan Azwar. Yang uniknya lagi, saya mempunyai teman yang namanya merupakan singkatan dari sebuah kalimat yang dibuat oleh orangtuanya, yaitu Altherita, singkatan dari Alhamdulillah telah lahir puteri pertama kita.

Berbicara soal nama dan artinya memang selalu menarik, apalagi sekarang saat saya bekerja sebagai periset di salah satu media cetak di Kota Bandung. Di sini, saya mulai banyak membaca dan membahas soal toponimi. Berdasarkan Kamus Besar Bahas Indonesia, toponomi berarti cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat; nama tempat. Sementara itu, berdasarkan Badan Informasi Geospasial, toponomi merupakan nama yang diberikan kepada unsur rupabumi  yang tidak hanya berupa tulisan di peta atau papan nama petunjuk jalan atau lokasi suatu tempat. Lebih jauh, toponimi/toponim merupakan informasi geospasial yang berfungsi sebagai titik akses langsung dan intuitif terhadap sebuah sumber informasi lainnya. Toponimi merupakan ilmu yang mempelajari nama tempat (toponim), mulai dari asal usul, arti, makna, penggunaan dan tipologinya.

Sebagai periset yang setiap minggunya harus menulis tentang bangunan cagar budaya yang ada di kota Bandung serta menjadi narasumber di radio yang setiap dua minggu sekali harus membahas sebuah kawasan di Kota Bandung, maka saya dan teman periset lainnya tak jauh-jauh dari toponimi. Hampir setiap harinya kami akan membahas soal asal usul serta arti nama dari sebuah jalan atau gedung cagar budaya yang ada di Kota Bandung.

Belajar toponimi itu seru, dan saya masih belajar toponimi nama jalan-jalan yang ada di Kota Bandung. Baru beberapa jalan yang saya dan teman-teman periset lainnya bahas saja sudah seru, apalagi belajar toponomi daerah lainnya, bukan hanya Bandung, ah pasti serunya pakai banget deh :)

Di postingan ini juga saya ingin membahas beberapa nama jalan di Kota Bandung yang baru saja kami bahas, yang mungkin bisa menambah ilmu untuk orang lain juga, terutama para pecinta sejarah. Pertama, saya akan membahas Jalan Tamblong, Kota Bandung. Buat yang suka lewat sini atau mungkin tinggal di daerah sini, tahu enggak kalau Jalan Tamblong itu sebenarnya diambil dari nama Keluarga Cina Konghu? Jadi, menurut buku Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya, disebutkan bahwa nama Tamblong berasal dari sebuah nama Keluarga Cina Konghu bernama Tam Long yang berprofesi sebagai tukang/juragan kayu dan mereka tinggal dikawasan tersebut sejak tahun 1874. Namun, karena ada vernakulasi atau adaptasi ke bahasa setempat maka jalan tersebut disebut Tamblong.

Kemudian, yang menarik lagi adalah nama-nama gang atau jalan di kawasan Sudirman. Jalan ini merupakan kawasan multi etnis, di sana terdapat blok atau gang yang namanya diambil dari saudagar Arab, Pedagang Tiongkok dan tokoh Sunda. Di kawasan tersebut, di antara pasar baru dan Gardujati terdapat gang arab. Area itu sebelum abad 19 didiami oleh saudagar arab di antaranya: Basalamah, Durman, Ence Azis, Yakub, alkateri (Alkatiri) dan Dulatip. Bagi orang Bandung, nama-nama ini mungkin sudah tidak asing lagi atau bahkan ada yang tinggal di daerah tersebut.

Lalu, ke sebelah barat dari gang arab, terdapat nama-nama tokoh Sunda yang disegani, yaitu Sasmithapura, R.Adibrata, Wangsa dan Irsyad. Selain itu, ada juga penamaan gang berdasarkan penghormatan kepada orang-orang lokal yang pergi haji, seperti Gg. Haji Basar, Gg. Haji Durasyd dan Gg. Haji Pahrurodji.

Lebih jauh ke arah barat, merupakan kawasan pedagang Tiongkok, di antaranya adalah Guan An atau sekarang dikenal dengan nama Jalan Andir, Lun An sekarang Jalan Luna, Sim Tjong yang terletak di sebelah SDK BPK atau SD Gang Sim Tjong, kini berubah menjadi Gang Adibrata. Guan An dan Lun An merupakan pemilik properti yang kesohor pada saat itu, mereka membangun deretan rumah di kawasan tersebut. 

Menarik bukan? Ini baru sebagian dari nama-nama jalan yang ada di Kota Bandung. Apalagi membahas nama-nama tempat atau jalan di kota lain, bahkan negara lain atau nama dari jenis-jenis makanan, sebuah benda, atau lainnya, pasti akan lebih menarik lagi.

Jadi, kalau ada yang bilang, "Apalah arti sebuah nama?"-dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti kiasan yang seperti diungkapakan William Shakespeare, saya akan menjawab, arti sebuah nama itu penting, karena di dalam sebuah nama itu tak hanya ada doa dan harapan, tapi terdapat sejarah, filosofi, dan misteri lainnya yang jika digali lebih dalam begitu menarik.

Thursday, March 2, 2017

Sayang Anak, Sayang Pasangan


"Eh tahu enggak, si A katanya cerai ya sama istrinya? Kok bisa cerai ya? Padahal kan istrinya cantik, baik, terus sayang banget sama anaknya"

"Eh katanya si B selingkuh ya sama cowok lain? Kok bisa ya? Padahal kan suaminya ganteng, kaya, terus kelihatannya juga baik dan perhatian ya"

Hmmm, mungkin sebagian orang ada yang pernah dengar kalimat-kalimat gosip kayak gini. Saya dan suami kayaknya sering banget dengar kalimat-kalimat ini di sekitaran kami. Mau coba tutup telinga, tapi da kedengaran, ya kita berdua mah cuman bisa ambil positifnya saja dari kalimat-kalimat itu, hehe. Hal gini tuh sebenarnya enggak cuman terjadi di lingkungan sekitar saja sih, yang secara terang-terangan dan sering komentar-komentar kayak gitu tuh biasanya ibu-ibu yang lagi ngomentarin soal rumah tangga para artis, ya kan? hehe

Enggak bisa dipungkiri deh, kalimat-kalimat di atas pernah terdengar dari mulut para ibu-ibu atau ada juga bapak-bapak yang biasanya lagi nonton gosip para artis. Dari hal-hal kayak gini, pak suami tiba-tiba bilang, "Makanya, bu, kalau udah nikah dan punya anak kayak gini mah kita teh harus seimbang,"

"Maksudnya, yah? Seimbang gimana?" tanya saya pada pak suami.
"Ya perlakuan kita harus seimbang sama pasangan dan anak. Misalnya nih yah, ibu hebat banget lah kalau ngurus soal Ziran. Dari mulai makannya, pakaiannya, semuanya pokoknya diperhatiin, jangan sampai ada yang kurang. Semua ibu lakuin yang terbaik buat Ziran supaya Ziran tumbuh dengan baik dan sehat. Tapi, ibu enggak melayani ayah sebagai suami dengan baik. Misalnya, ayah pulang kerja, ibu buad-baeud (cemberut) sama ayah, enggak nyambut ayah dengan senyuman. Atau ayah pulang kerja, ibu malah sibuk ngurus Ziran sampai-sampai enggak sempat menyiapkan air minum atau bahkan sun tangan sama ayah. Menurut ibu itu seimbang enggak?" jawab pak suami panjang lebar :D

Mendengar jawabannya, saya malah diam, tertegun.

Belum sempat menjawab, pak suami bertanya lagi, "Enggak seimbang kan?"

"Iya," jawab saya singkat sambil mengangguk.

"Ya gitu, bu. Kalau dengar dari beberapa teman atau fenomena-fenomena perceraian yang ada, biasanya penyebabnya gara-gara si pasangan itu enggak bisa seimbang dalam bersikap, terutama pada saat sudah punya anak. Banyak orangtua yang terlalu fokus pada anaknya, tapi enggak fokus sama pasangannya. Bisa jadi dia adalah seorang ibu yang baik tapi belum bisa menjadi istri yang baik. Dan bisa jadi dia adalah seorang istri yang baik tapi belum bisa menjadi ibu yang baik. Dan sebaliknya, ada juga ayah yang baik tapi dia enggak bisa jadi suami yang baik. Ada suami yang baik tapi dia enggak bisa jadi ayah yang baik. Kalau menurut ayah sih, setelah menikah dan mempunyai anak, perlakuan kita sama pasangan atau anak kita itu ya harus seimbang, enggak boleh berat sebelah."

Obrolan saya dan suami malam itu sedikit menampar diri saya yang saya akui kadang ada kalanya saya memang terlalu fokus pada Ziran, dan lupa pada peran saya sebagai seorang istri yang seharusnya juga melayani suami saya. Saya terlalu hanyut berperan sebagai seorang ibu karena merasa sudah berjuang selama 9 bulan mengandungnya kemudian menahan sakit yang luar biasa pada saat melahirkannya. Padahal, sebelum si buah hati lahir, ada suami juga yang berjuang bersama kita untuk mendapatkan sang buah hati, hehe.

Jadi, cobalah belajar untuk seimbang agar bisa menjadi ibu yang baik sekaligus istri yang baik atau ayah yang baik sekaligus suami yang baik ;)
Ya, semoga kita semua bisa menjadi pasangan yang baik serta orangtua yang baik ^^