Thursday, February 9, 2017

Karena Enggak Mau Minta Maaf Setitik Rusak Hubungan Sebelanga

Ziran (anak saya) bersama Mas Dzikra (anak kakak saya)

Sebagai seorang adik, saya merasakan, orang yang menjadi panutan atau idola pertama saat kecil adalah kedua kakak saya, terutama kakak perempuan saya karena kami sama-sama perempuan. Apa yang dipakainya, apa yang dilakukannya, terlihat selalu menarik di mata sang adik. Namun, lain halnya dengan sang kakak, biasanya mereka malah sangat kesal ketika adiknya membuntuti atau meniru apa yang dilakukannya. Begitu pula yang terjadi pada saya dan kakak perempuan saya pada saat kecil, dan sekarang terjadi juga pada anak saya dan kakak perempuan saya.

Ziran begitu mengidolakan Mas Dzikra. Apa yang digunakan Mas Dzikra, Ziran selalu ingin menggunakan sesuatu yang sama dengannya. Apa yang dimainkan Mas Dzikra, Ziran juga mau memainkannya. Apa yang dilakukan Mas Dzikra, Ziran selalu mengikutinya. Dan hal itu kadang membuat Mas Dzikra kesal, kemudian bilang, "Ade Ziran ih, itu kan mainan Mas!", "Ade Ziran ih, aku enggak suka diikutin". Atau salah satunya ada yang menangis karena berebutan mainan.

Kalau ngobrol sama beberapa teman dan sahabat saya juga ternyata memang tak jauh berbeda, mereka yang mempunyai kakak seperti saya pasti pernah mengidolakan kakaknya dan ingin sepertinya. Jadi, dari hasil obrolan saya dengan beberapa teman dan sahabat saya ini bisa disimpulkan biasanya saat masih kecil, sang adik sangat mengidolakan sang kakak. Sementara itu, sang kakak akan berusaha menjauh atau membatasi diri dari adiknya supaya tidak diikuti, yang pada akhirnya berujung berantem, hehe.

Membahas soal hubungan adik dan kakak, membuat pikiran saya bernostalgia dengan masa kecil saya bersama kedua kakak saya. Tak bisa dihitung berapa kali kami bertengkar karena hal sepele, terutama saya dengan kakak perempuan saya. Dia selalu merasa risih jika saya mengikuti gayanya, meminjam bajunya, atau hal-hal lainnya yang bersifat "duplikat", dan akhirnya berantem. Namun, yang selalu saya ingat saat kecil itu, seberantem-berantemnya kami pada akhirnya bakal baikan juga. Semarah-marahnya kakak saya atau senakal-nakalnya saya bikin kesal kedua kakak saya, pada akhirnya kami akan saling memaafkan.

Lalu, saat ini saya merasa, lebih baik berantem pada saat masih kecil seperti dulu yang beberapa jam kemudian atau keesokannya bisa lupa begitu saja. Lebih baik berantem pada saat masih kecil seperti dulu, yang kalau disuruh maaf-maafan sama orangtua kita langsung maafan dan besoknya main lagi kayak biasa, dibandingkan berantem pada saat dewasa, seusia seperti saya. 

Entahlah, tapi saya merasa saat kecil, maaf memaafkan terasa lebih tulus dan lebih mudah dilakukan dibandingkan saat sudah dewasa. Saat sudah dewasa, hal kecil saja bisa berbuntut besar, meskipun adik kakak kandung bisa berakhir menjadi benci atau tak saling sapa, bahkan tak saling kenal. 

Tak sedikit saya melihat adik kakak yang bertengkar besar hanya karena hal sepele dan mereka terlalu gengsi untuk saling memaafkan. Semuanya merasa paling benar, semuanya merasa tidak perlu meminta maaf, semua merasa gengsi untuk mengakui duluan siapa yang salah dan memulai minta maaf. Egois!

Namun, begitulah nyatanya. Seperti halnya di dunia media sosial sekarang ini, yang dikit-dikit orang cepat tersinggung, kemudian saling menghujat, semuanya merasa paling benar, saling meng-unfriend, enggak pada mau minta maaf, terus jadi enggak mau saling kenal juga di dunia nyatanya. Sekarang mah, "karena share setitik rusak hubungan sebelanga", "karena enggak mau minta maaf setitik rusak hubungan sebelanga".

Balik lagi ke persoalan adik kakak, sekarang saya dan kedua kakak saya sudah enggak pernah berantem lagi karena hal sepele. Karena hal itu juga, saya dan kedua kakak saya sudah jarang mendengar kata "maaf" yang seperti biasa kami lakukan saat kecil jika kami berbuat salah. Kata "maaf" yang kami dengar saat ini hanyalah pada saat lebaran. Itu pun entah apakah maaf memaafkan dari dalam hati atas sikap kita selama ini yang disadari atau tidak disadari karena sempat saling menyakiti atau hanya sekadar "tradisi" lebaran yang biasa dipakai untuk momen mengucapkan "mohon maaf lahir dan batin". 

Ya, di usia saya yang hampir menuju 30 ini, saya merasa sekarang banyak kata "maaf" hanyalah sebuah kata yang tak berisi ketulusan seperti waktu saya kecil. Sekarang, kata "maaf" hanyalah sebuah formalitas untuk sebuah pengakuan. Kata "maaf" hanyalah tameng untuk mencari aman agar tidak terjadi keributan. Ah, memang rumit ya dunia dewasa ini.



2 comments:

  1. Orang dewasa megang harus belajar lagi lagi ttg ketulusan dari anak2 ya 😊

    Salam kenal,
    Tatat

    ReplyDelete
  2. iya teh tatat, anak kecil kayanya paling jago klo soal ketulusan, harus belajar banyak dari anak2 :D


    salam kenal juga teh tatat, mau ninggalin komen di jejak katumbiri, ga bisa wae kenapa ya teh? :(

    ReplyDelete